About us Medsos

7 Hal Tentang Media Sosial di Indonesia yang Kamu Belum Tahu


MEDIAVIEWFINDER.TK - Walaupun media sosial dalam berbagai bentuk, termasuk blog, sudah kita kenal sebelumnya, tapi baru sejak tahun 2009 lah, media sosial betul-betul baru meledak di Indonesia. Pada tahun 2009, kita berangkat dengan kurang dari 1 juta pengguna Facebook di awal Januari 2009 dan diakhiri dengan jumlah pengguna hingga 16 juta pengguna Facebook di bulan Desember 2009.

Berbagai platform media sosial dan juga instant messenger (chat) pun tumbuh terus sejak tahun tersebut Twitter, Path, Whatsapp dan kini Instagram saling berebut mendapatkan perhatian kita.

Kekuatan, pengaruh dan efek dari Media Sosial ini sudah mulai kita kenal dekat dan melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Pemilihan Presiden tahun 2014 kemarin hingga kini 3 tahun kemudian tidak selesai memberikan kita rasa pahit adu argumentasi dan perdebatan tentang isu sosial dan politik yang mana adalah makanan wajib para pengguna media sosial di Indonesia.

Walaupun begitu, mungkin ada beberapa hal tentang media sosial yang teman-teman belum tahu, dan di bawah ini ada 7 diantaranya:

1. Sistem Politik dan Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi yang positif dan sistem politik demokratis adalah sebab-sebab utama mengapa media sosial tumbuh subur di Indonesia. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, walau ada kekurangan di sana-sini, tapi secara menyeluruh membuat masyarakat muda Indonesia memiliki uang untuk dibelanjakan demi kebutuhan terkonek dan berinteraksi di media sosial. Sistem demokrasi yang membiasakan kita untuk bebas berbicara dan berekspresi, mengambil sikap politik juga memberikan amunisi sehingga kita ramai berbicara di media sosial.

2. Social Media Bubble


Fitur alami dari media sosial yang memfilter informasi berdasarkan orang yang kita follow, maupun pertemanan, membuat kita terbiasa mendapatkan atau memilih informasi yang kita suka atau setujui terlebih dahulu. Hal ini wajar sebenarnya, seringkali kita tidak menginginkan informasi yang nyinyir atau negatif kita terima, tapi jika berlebihan dapat membuat seolah-olah kita hidup di dalam ruang udara (bubble) yang isinya hanya informasi yang kita suka saja, tanpa betul-betul tahu apakah informasi itu benar adanya.

3. Jurnalis dan Media Konvensional


Para jurnalis dan media tradisional terbiasa mendapatkan beritanya kini lewat berbagai akun media sosial bahkan hingga terlihat seolah-olah media konvensional disetir oleh informasi yang muncul di media sosial. Ini berbahaya ketika berita di media sosial adalah satu-satunya sumber informasi media dan teman-teman jurnalis. Media konvensional dan para jurnalis lah yang seharusnya mendorong percakapan yang terjadi di media sosial dengan informasi yang mereka ungkap, yang mereka pikir penting diketahui publik dan bukan sebaliknya.

4. Munculnya Para Analis & Pakar di Media Sosial


Ketika siapapun dapat menuliskan isi kepalanya ke publik, maka tidak heran ketika kini media sosial menjadi tempat munculnya para pakar dan analis jadi-jadian. Dari ahli politik, ekonomi, sosial, kriminal, hukum hingga ahli agama, setiap kali ada kasus baru yang menjadi pembicaraan banyak orang, di saat yang bersamaan muncul juga para pakar dan analis yang bukan bidangnya ini, berlomba untuk memberikan opini dan pandangannya berdasarkan data yang tidak utuh atau pemberitaan media yang (lihat no 3) juga bersumber dari media sosial.

5. Otoritas yang Hilang


Dengan banyak nya informasi yang muncul di media sosial dan berbagai chat platform, yang satu seringkali mengkontradiksi yang lain. Pemerintah maupun otoritas lain kadang juga tidak akurat atau melakukan kesalahan ketika memberikan informasi. Media seringkali salah, atau sengaja memberikan perspektif yang tendensius. Para "pakar" media sosial dengan berbagai pendapat membuat masyarakat umum makin bingung memilah informasi yang paling benar dan sesuai fakta. Akhirnya semakin berkurang, bahkan hilang otoritas-otoritas yang bisa kita percaya ketika berkaitan dengan informasi. Banyak yang memilih untuk tidak percaya sama sekali, atau sebaliknya menyerah untuk bisa mengetahui apa yang benar dan berasumsi semua salah.

6. Para Pembajak Media Sosial


Kondisi diatas, otoritas yang hilang, pakar jadi-jadian, media dan jurnalis yang asal-asalan ditambah dengan kenyataan pengaruh media sosial dalam kondisi sosial politik membuat ada sekelompok orang yang membajak media sosial untuk kepentingan politik dan ekonominya sendiri. Kelompok ini membajak kebebasan berekspresi dengan membuat dan menyebarkan konten yang menyerang lawan-lawan di media sosial, kadang karena motivasi ideologi, tapi banyak juga karena didanai. Para pembajak ini tidak malu-malu melakukan segala cara untuk menyerang lawannya, kebencian diumbar, kebohongan dijual, ketakutan disebar. Ranah media sosial menderita karenanya tapi para pembajak ini tertawa diatasnya

7. Bijak Bermedia Sosial


Otoritas yang hilang, pakar jadi-jadian, media sosial yang dibajak, ini semua adalah tantangan bagi kita untuk menggunakan media sosial dengan makin bijak lagi. Kita semua berlatih dan setiap hari makin pintar, makin cerdas, makin bijak menggunakan media sosial, Kita makin terbiasa menerima bahwa pendapat kita belum tentu benar, informasi yang kita terima perlu dicek kembali, dan bahwa perbedaan itu bukan sebuah masalah. Hanya karena seseorang berbeda dari kita bukan berarti orang tersebut jahat, bukan berarti orang tersebut tidak punya hak yang sama dengan kita. Perbedaan adalah berkah, membuat kita lebih kuat, membuat kita lebih bijak. Persatuan yang hakiki bukan terdiri dari keseragaman manusia dan ide, tapi justru dari perbedaan yang sepakat dan berkompromi untuk hidup bersama dan saling menjaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selebriti nikahi fans